Perbedaan Pensil dan Potlot. Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa kita menyebut alat tulis yang kita gunakan sehari-hari dengan sebutan “pensil”? Selain unik dan penuh kesederhanaan benda ini, jika mau mengkaji lebih dalam. Masih banyak hal yang tersimpan berupa sejarah panjang dan beragam persepsi. Mari kita ikut menyelami kisah seorang kakek dan cucunya yang terlibat dalam perdebatan sengit tentang sebutan “pensil” dan “potlot”. Sebuah kisah yang akan membawa kita kembali ke masa lalu dan merenungkan tentang perubahan zaman.
Potlot vs Pensil: Sebuah Perdebatan Klasik
Gerry, seorang siswa SMA, sedang asyik mengerjakan tugas sekolahnya. Ia tenggelam dalam lautan buku dan catatan, sesekali menggigiti ujung pensilnya yang sudah mulai pendek. Kebiasaan ini sudah menjadi candu baginya, terutama saat ia sedang berpikir keras.
Tiba-tiba, suara serak khas orang tua mengagetkannya. “Nak, kok potlotnya diemut?” tanya Kakek Notomiharjo, yang baru saja masuk ke kamar Gerry.
Gerry menghentikan kegiatannya dan menatap kakeknya dengan bingung. “Maksud Kakek, ‘pensil’, kan, Kek?” tanyanya sambil menunjuk pensil yang masih terjepit di antara bibirnya.
Kakek Notomiharjo menggeleng-geleng kepala. “Dulu, waktu kakek masih kecil, kita bilang potlot, Nak. Bukan pensil.”
“Ah, Kakek ketinggalan zaman,” balas Gerry sambil terkekeh. “Sekarang kan zaman sudah modern, semua orang bilang pensil.”
Kakek Notomiharjo mengerutkan keningnya. “Jangan-jangan kamu yang ketinggalan zaman, Nak. Dulu, waktu kakek sekolah, semua alat tulis kita terbuat dari kayu dan disebut potlot.”
Perdebatan pun dimulai. Gerry berusaha menjelaskan bahwa kata “pensil” lebih populer dan lebih sering digunakan saat ini. Ia bahkan menunjukkan kamus bahasa Inggris miliknya sebagai bukti.
“Lihat, Kek, di sini jelas-jelas tertulis ‘pencil’,” kata Gerry sambil menunjuk kamus.
Kakek Notomiharjo tidak mau kalah. Ia pun mengambil kamus Belanda kuno miliknya yang sudah usang. “Ini kamus Belanda, Nak. Dulu, kita dijajah Belanda, jadi banyak kata Belanda yang kita pakai. Lihat, di sini tertulis ‘potlood’, yang artinya potlot.”
Ini Dia Perbedaannya
Ibu Dian yang mendengar keributan itu segera datang melerai. “Sudah-sudah, jangan bertengkar. Kalian berdua benar kok.”
“Ibu, bagaimana bisa kami berdua benar?” tanya Gerry bingung.
Ibu Dian tersenyum. “Bahasa itu dinamis, Nak. Kata-kata bisa berubah seiring berjalannya waktu dan pengaruh budaya. Dulu, orang-orang menyebutnya ‘potlot’, sekarang orang-orang sebutnya‘pensil’. Keduanya mengacu pada benda yang sama. “
“Tapi, Bu…” Gerry masih ingin membantah.
“Pensil itu serapan dan Bahasa Inggris, Pencil. Di sekolah kamu belajarnya Bahasa Inggris kan?. Kalo di jaman kakek, belajarnya Bahasa Belanda, jaman kakek dulu barang ini namanya ya Potlot, serapan dari Bahasa Belanda, Potlood” terang Dian sambil nunjukkan pencil itu di depan Gerry.
“Oo, begitu. Jadi tidak perlu berdebat soal benar atau salah. Ternyata seperti itu sejarah pensil di Indonesia. Sudahlah berarti, yang penting adalah kita bisa saling memahami,” potong Kakek Notomiharjo.
Gerry terdiam. Ia menyadari bahwa perdebatannya dengan kakek sebenarnya tidak ada gunanya. Yang terpenting adalah mereka tetap bisa saling menyayangi dan menghormati satu sama lain, meskipun memiliki perbedaan pendapat.
Jadi ini bukanlah tentang nama sebuah gang, gang potlot markas band musik legendaris Indonesia, Slank. Kisah yang Anda barusan baca mengingatkan kita bahwa di balik perbedaan pendapat, terdapat keindahan dalam keberagaman. Semoga cerita ini dapat menginspirasi kita semua untuk lebih menghargai perbedaan dan membangun komunikasi yang lebih baik. Perdebatan tentang pensil dan potlot mungkin tampak sepele, namun di baliknya tersimpan pesan yang mendalam tentang pentingnya menjaga hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang kita sayangi.